
Ahli Hukum FH Unikom dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)
Oleh : Musa Darwin Pane
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat “predictable”. Dengan adanya supremasi hukum bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Hukum menentukan bagaimana kekuasaan dilaksanakan. Oleh karenanya hukum harus diundangkan, dipublikasikan, harus jelas, tidak berlaku surut, dan stabil.
Dewasa ini pemerintah terus melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terutama dalam pencegahan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Melihat sejarah korupsi sendiri yang telah lama ada dan pemberian sanksi pidana mati bagi pelakunya sepertinya tidak menyurutkan angka kejahatan luar biasa ini. Muladi dalam teori integratifnya mengatakan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributive yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan.
Apabila kita melihat perbandingan pemberantasan tindak pidana korupsi di beberapa negara, maka sanksi yang diberikan dapat berbeda-beda di setiap negara, hal ini dipengaruhi kebijakan hukum yang sesuai dengan tujuan negara yang hendak dicapai.
Di China, pemberantasan korupsi yang begitu keras dapat dilihat dari banyaknya koruptor yang dihukum mati, apabila bukan hukuman mati, hukuman penjara ataupun ganti rugi yang diberikan sangat berat.
Di Singapura, menerapkan pencegahan korupsi dengan meningkatkan gaji yang layak bagi para PNS, selain itu didukung oleh beberapa faktor adanya political will yang tinggi dari pemerintah untuk memberantas korupsi, kuatnya hukum terutama peraturan mengenai anti korupsi, hukuman yang berat bagi para koruptor yaitu apabila terbukti dapat dikenai hukuman hingga $ 100,000 atau hukuman penjara selama 5 tahun hingga 7 tahun apabila dari sektor publik, pendidikan anti korupsi, analisis mengenai metode kerja, deklarasi aset dan investasi, larangan menerima hadiah. Artinya, dilakukan dengan mengedepankan aspek penindakan dan memperkuat kelembagaan di awal periode penanggulangan korupsi.
Di Jepang, tidak ada lembaga mandiri yang bertugas menangani kasus korupsi. Proses penyelidikan hingga pemberian hukuman dilaksanakan layaknya hukum pidana lainnya. Akan tetapi selain hukuman pidana, terdaapat hukuman sosial dari masyarakatnya. Walaupun tidak tertulis hukuman sosial ini sangat berperan dalam pemberantasan korupsi, Dalam upaya pencegahannya, Jepang memiliki sistem pendidikan karakter, dimana nilai-nilai agama diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Finlandia, masyarakat diberi akses seluas-luasnya untuk mengawasi kinerja pemerintahannya, penegakan hukumnya dilaksanakan oleh pihak kepolisian dan penuntut umum. Pengadilan Umum akan menangani perkara perdata dan pidana yang berkaitan dengan korupsi sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas untuk memutuskan terkait dengan kebijkan publik yang dibuat oleh Pemerintah. Tingkat bebas buta huruf warganya mencapai 100% sehingga warga Finlandia menjadi lebih sarat akan hak dan kewajiban, keterlibatan dalam melakukan review atas kebijakan pemerintah yang kuat, kesadaran hukum dan tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Sementara di Indonesia, pemberantasan (pencegahan dan penindakan) korupsi melalui peraturan dan lembaga penegak hukum serta peningkatan pendapatan bagi PNS telah dilakukan. Upaya pencegahan melalui berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Perpres No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, Surat Edaran No. 8 Tahun 2020 yang mengatur pencegahan korupsi terkait penggunaan anggaran pengadaan barang/jasa (PBJ) untuk percepatan penanganan Covid 19, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dan yang termuat di berbagai Perundang-undangan lainnya.
Berbagai lembaga penegak hukum dalam pemberantasan yang independen seperti (KPK) dan berbagai alternatif sanksi dalam pemberantasan (pencegahan dan penindakan) korupsi mulai dari pidana mati hingga pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan upaya dalam penegakan hukum.
Dalam masa pandemi Covid 19 dan penerapan new normal, perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana melalui rekonstruksi dan atau reformulasi terhadap undang-undang yang ada berkenaan dengan sanksi yang diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yaitu dikenakan upaya pengembalian keuangan negara dengan pertanggungjawaban sampai derajat ke 3 (tiga) atau yang dikenal dengan pemiskinan koruptor. Dimana pertanggungjawaban dilakukan dengan cara memvonis pelaku koruptor dengan tetap bekerja dan tanpa di penjara atau dihukum mati akan tetapi berkewajiban mengembalikan kerugian keuangan negara sampai derajat ke 3 (tiga) sebagai alternatif pemberantasan (pencegahan dan penindakan) korupsi yang lebih menakutkan, karena keturunan sampai derajat ke 3 (tiga) diwajibkan mengembalikan kerugian negara (pemiskinan koruptor). Adapun alasan sampai derajat ketiga karena penikmat hasil korupsi memungkinkan nyata sampai keturunan ke 3 (tiga) dan demi kepastian hukum dimana lazim manusia di Indonesia sampai keturunan ke 3 (tiga). Konsep tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila terutama sila ke lima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena pelaku koruptor adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan dan negara berhak untuk memberikan sanksi yang tegas sebagai efek jera, selain itu tindakan korupsi merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan Pancasila.
“Dalam masa pandemi Covid 19 dan penerapan new normal penegakan hukum harus tetap ditegakan, dalam pemberantasan korupsi perlu dilakukan rekonstruksi dan/atau reformulasi terhadap undang-undang yaitu dengan dikenakan upaya pengembalian keuangan negara dengan pertanggungjawaban sampai derajat ke 3 atau yang dikenal dengan pemiskinan koruptor”.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.
Sae pisan